Ilmu perang ( dibaca dalam satu tarikan nafas ) - bukanlah perang itu sendiri – adalah suatu cara untuk mencapai kemenangan. Hal ini berarti tidak harus dilakukan dengan cara membunuh dan atau menembakkan senjata. Mereka adalah dua hal yang berbeda. Bahkan sangat berbeda.
Falsafah yang mendasari sehingga ilmu perang – Sun Tzu -- disusun adalah untuk mencengah munculnya penyakit ( perang ), yang dapat menyebabkan kesengsaraan. Tujuan dari keberadaan ilmu perang adalah untuk mendatangkan kesejahteraan bagi sebuah individu/organisasi/komunitas/bangsa/negara. Yakni kesejahteraan manusia itu sendiri. Dengan jalan mencegah pertempuran ( kontak senjata ), yang berdampak pada rusaknya peradapan serta kesejahteraan manusia – siapapun pemenangnya.
Falsafah ini, diceritakan di dalam sebuah cerita kuno Tiongkok, yang mengambarkan keberadaan dari sebuah keluarga tabib, yang memiliki 3 orang keturunan – ditempatkan sebagai prakata buku Seni Perang Sun Tzu, terjemahan Thomas Chaley. Di mana, si Bungsu yang terkenal di kalangan masyarakat, sehingga dipanggil untuk melayani di kekaisaran, di tanya oleh sang kaisar. " Siapa yang paling ahli di dalam keluargamu, di dalam ilmu pertabitan ? " Ia menjawab, yang paling ahli adalah sang kakak yang tertua. " Si Kaisar menjadi heran, mendegar jawaban ini. Sebab jika demikian adanya, mengapa ia tak menjadi terkenal ? " Si Adik bungsu ini menjawab, " Kakak saya yang sulung,menyebuhkan penyakit pada tingkatan roh ( sebelum ia berwujud ). Itulah sebabnya, ia menjadi tidak terkenal.
Karena orang/komunitas yang ditolongnya, tidak menydari bahwa ia telah di tolong/disembuhkan – sebelum penyakit itu mewujud dalam tubuh si Pasien. Tataran menegah ilmu pertabitan keluarga kami, dipegang oleh kakak saya yang nomor dua, karena ia menyebuhkan pada tataran yang belum parah/biasa saja. Tataran terendahnya adalah saya, karena menyembuhkan dalam tingkatan sakit yang parah/akut. Karena yang saya sebuhkan tingkatan itu parah/akut, maka saya menjadi sangat terkenal – padahal dalam tataran ilmu pertabitan keluaga, sayalah yang terendah. " Dengan demikian, perang itu sendiri, dibagi menjadi 3 tingkatan. Perang ngelmu/roh ( beradu strategi ), perang menengah, dan perang puputan ( bhs. Bali, habis – habisan ). Perang puputan sendiri, berada pada tataran ilmu 'tabib terendah'.
Di mana, apabila terjadi sebuah perang pada tingkat menengah apalagi hingga puputan, maka itu adalah sebuah wujud kegagalan dalam penerapan ilmu perang itu sendiri. Yakni para pemimpin suatu kelompok/komunitas tidak mampu menerapkan kaidah – kaidah dalam 'penilaian strategi' – ada 5 hal yang dinilai.
Semua pemimpin/jenderal diharapkan mempelajari ilmu perang, sehingga pertempuran hanya terjadi pada tingkatan ngelmu/roh, dengan kerusakan yang amat sedikit. Di mana "kemenangan telah didapat sebelum bertempur" ( sebuah ujar2 Sun Tzu yang banyak dikutip). Sehingga menghindari perang pada tingkatan menegah dan puputan.
Dengan demikian, apabila terjadi perang secara nyata, dapat dikatakan merendahkan ilmu perang itu sendiri dengan jalan memperlajari parameter kemenangan /kekalahan sedari awal, dan menerapkannya ( perang roh/ngelmu ) – karena ilmu perang Sun Tzu bertujuan sedapat - dapatnya untuk mencegah terjadinya perang kontak senjata ( yang mengakibatkan rusaknya kemanusiaan ). Tujuan ini, ia digambarkan secara jelas, pada kalimat terawal sekali pada buku ini, yakni " ... m enentukan mati hidupnya sebuah bangsa ... ." Dengan demikian, pada dasarnya perang ada bukan untuk perang.
disarikan dari berbagai sumber.
No comments:
Post a Comment